A Young Adult Avidity

For the first time in 22 years of life, I have strong eagerness to be a researcher. Social researcher to be precise. In a small research institution resides outskirt of the town. Scrutinizing social issues in this vibrant and colorful society since I have to to sharpen my writing and analytical skills. The two best things I can do and maximize.

I am not saying that I do not feel satisfy with today job. In fact, I feel so grateful having a chance to work in one of UN bodies, be friend with numerous c level people, get some privilege and so on. But I do have a feeling that I am not in right place. I just do not. It is beyond my grasp.

Mereka Saja Sudah, Saya Berikutnya!

Iseng ga ada kerjaan membawa gue main Omegle. Iya iseng banget gue.

Dengan topik makanan yang dipilih, gue ketemu orang California. Diskusi ngalor ngidul mulai dari makanan sampe ke pakaian. Akhirnya dia nanya asal gue darimana. Gue dengan bangganya bilang Indonesia. Seperti biasa, dia ga kenal Indonesia sama sekali, tapi dia pernah nonton The Raid. “It was so good! I am hoping that the screening is not limited in some places only since I intend to watch The Raid 2.”

Gue bacanya campuran bangga dan sedih. Bangga akhirnya film Indonesia berkembang pesat dan berhasil nembus Hollywood bikin orang kenal Indonesia, ya setidaknya pernah dengerlah; sedih karena gue sendiri orang Indonesia tapi belom nonton The Raid yang fenomenal itu. Film sekuelnya The Raid: Berandal bahkan muncul premier di Sundance dan berhasil bikin heboh karena sampe ada yang pingsan. Rating di IMDB nembus 8.8!

Sepertinya gue ga perlu alasan lain untuk nonton ini sesegera setelah gajian! 😀

United Nation Frameworks Convention on Climate Change

Dewasa ini, pembakaran minyak bumi dan pemekaran lahan yang tidak terkontrol serta penggunaan senyawa kimia berbahaya merupakan penyumbang besar dalam terjadinya perubahan iklim. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat menghasilkan gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), methan (CH4) dan nitrogen dioksida (N2O). Pada tahun 2010 saja, kadar CO2 dalam atmosfir mencapai angka 375 ppm (part-per-million). Padahal normalnya, kadar tertinggi CO2 yang baik untuk makhluk hidup hanya mencapai 350 ppm. Selain membahayakan makhluk hidup secara langsung, emisi gas rumah kaca itu juga dapat menyebabkan pemanasan global dan keanomalian cuaca. Tidak dapat dipungkiri lagi, saat ini, suhu bumi kian meningkat, melelehnya kutub, glasier dan lempeng es, serta perubahan curah hujan.

Efek yang timbulkan dari perubahan ini berdampak hampir pada semua sektor kehidupan, mulai dari lingkungan, ekonomi sampai kesehatan. Perubahan curah hujan dapat menyebabkan banjir maupun kekeringan. Melelehnya lempeng-lempeng es mengakibatkan naiknya level permukaan air laut sehingga terjadi banjir dan erosi tanah. Peningkatan suhu udara dapat mengubah prilaku tanam dan panen yang dapat mengancam keamanan pangan. Selain itu, peningkatan suhu juga meningkatan resiko terkena malaria dan demam berdarah. Paling parah, peningkatan suhu mengancam keberadaan habitat banyak spesies.

Perubahan iklim membuat makhluk hidup, khususnya manusia, harus beradaptasi untuk mengurangi dampak negatif, yakni dengan membuat penyesuaian dan perubahan yang tepat. Kerentanan masa depan tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan iklim, tetapi juga tipe pembangunan yang dicanangkan. Oleh karena itu, PBB membentuk sebuah konvensi penanggulangan perubahan iklim yang bernama United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

UNFCCC atau Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim merupakan sebuah kesepakatan dan komitmen politik internasional tentang perubahan iklim. Konvensi ini diresmikan pada saat KTT Bumi: Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992. Hingga saat ini sudah ada 192 negara yang bergabung di dalamnya, termasuk Indonesia.

Tujuan utama dari UNFCCC adalah menjaga dan menstabilkan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfir karena sudah dalam taraf membahayakan kehidupan organisme. Selain itu, konvensi ini memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Dalam UNFCCC, dikenal sebuah istilah “Common but Differentiate Responsibilities” yang mempunyai pengertian bahwa setiap negara mempunyai tanggung jawab yang sama, namun dengan peran yang berbeda-beda.

Negara maju atau Annex I, sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar sesuai dengan Protocol Kyoto, berkewajiban mengurangi gas rumah kaca dengan mencari teknologi alternatif yang ramah lingkungan. Selain itu, negara-negara tersebut juga diwajibkan untuk membantu negara berkembang dalam hal mendanai kebijakan dan penelitian serta mempertimbangkan pengaruh, kerentanan dan pengadaptasian perubahan iklim di negara berkembang. Beberapa cara dilakukan, seperti capacity-building, pelatihan serta pengedukasian mengenai masalah tersebut untuk meningkatkan perhatian publik; pengimplementasian adaptasi yang nyata dan jelas; transfer teknologi; bertukar ide dan pemahaman melalui lokakarya.

Dalam UNFCCC, supreme body  atau pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan adalah Conference of Parties (COP). COP merupakan pertemuan tahuan anggota UNFCCC yang biasanya diselenggarakan di Sekretariat UNFCCC di Bönn Jerman. Tugas dan tanggung jawab COP adalah mengkaji ulang implementasi konvensi sebelumnya. Bila tingkat pengimplementasian rendah, maka COP berhak membuat keputusan untuk meningkatkan implementasi konvensi tersebut.

Earth Hour, Simbolisasi?

Tahun 2012 silam, PLN menghabiskan sebesar 8,2 juta kilo liter BBM untuk menghidupkan jutaan rumah di Indonesia. Berkurang memang dari tahun 2011 11,8 juta kilo liter, tetapi angka tersebut masih cukup tinggi karena belum termasuk dengan pembangkit listrik dari sumber-sumber lain. Penggunaan BBM dengan jumlah yang sangat besar tersebut membahayakan lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca yang besar pula sehingga dapat berdampak pada pemanasan global.
Pemborosan listrik terjadi akibat tidak peduli serta acuhnya masyarakat akan penggunaan listrik. Mereka berpikir bahwa mereka membayar listrik tersebut sehingga dapat menggunakan listrik semaunya. Padahal bila dihemat penggunaan listriknya, maka mereka tidak hanya membantu mengurangi emisi gas rumah kaca saja, tetapi juga dapat menghemat pengeluaran mereka sendiri. Oleh karena itu, untuk menyadarkan masyarakat, sebuah organisasi lingkungan mempelopori sebuah gerakan penghematan listrik yang bernama Earth Hour.

Earth hour merupakan sebuah kampanye untuk mematikan segala peralatan listrik selama 1 jam yang digerakkan oleh WWF. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk mengajak masyarakat mengurangi konsumsi listrik. Kampanye Earth Hour ini dimulai pertama kali di Sydney Australia pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 menyebar ke seluruh dunia, dan Indonesia bergabung dalam kampanye ini pada tahun yang sama. Tahun 2012 lalu saja, 6950 kota di 152 negara di dunia ikut serta menyebarkan semangat tersebut.
Tahun 2013 ini, Earth Hour, dilaksanakan pada tanggal 23 Maret. Di Indonesia, khususnya di Jakarta, kampanye diadakan di Taman Tugu Proklamator yang diisi dengan beberapa acara, antara lain penampilan music serta pameran dari berbagai macam komunitas yang bergabung. Acara tersebut berlangsung meriah dan diikuti ratusan orang. Menurut data yang dikeluarkan oleh Earth Hour Indonesia, kurang lebih 75.000 liter BBM, atau setara dengan 236 Mega Watt, dihemat dari penggunaan listrik di Indonesia pada Sabtu 23 Maret tersebut. Angka yang cukup fantastis ya!

Bundaran HI gelap ketika Earth Hour source: http://www.metrotvnews.com

Namun, bila Earth Hour hanya dilakukan setahun sekali tanpa ada keberlanjutan, maka kampanye ini hanya sekedar simbolisasi saja. Masyarakat yang ikut serta tidak mendapatkan esensi yang dimaksud dari kampanye ini. Mereka hanya melakukan kegiatan 1 jam tanpa listrik karena Earth Hour sedang jadi trend dan bila tidak ikut maka tidak keren. Bagus memang, tetapi sejatinya mereka dapat meneruskan kegiatan tersebut di hari-hari lain dengan kesadaran sendiri tanpa embel-embel Earth Hour karena itu adalah tujuan dari kampanye tersebut. Oleh karena itu, mari jadikan Earth Hour sebagai momentum perubahan untuk lingkungan yang lebih baik!

Akses Informasi Publik

Dewasa ini beredar isu kandungan lemak babi di salah satu jenis minuman. Walaupun saya tidak mengkonsumsi minuman tersebut, tapi saya penasaran dan ingin memastikan kebenarannya. Saya mencoba mencari data-data mengenai kode makanan yang mengandung babi di web. Saya berharap sekali mendapatkan sumber terpercaya dari web pemerintah yang menangani masalah tersebut, yaitu BPOM. Namun, kecewa yang didapat. Tak satupun web resmi yang berisi data kode makanan terkait muncul. Laman yang banyak muncul malah dari website pribadi atau blog. Sedih. Padahal dimana lagi kita dapat mengkonfirmasi kebenaran isu-isu yang sering muncul di masyarakat. Apakah masyarakat sengaja dibiarkan dalam kondisi telinga tersumpal dan tidak tahu apa-apa? Apakah masyarakat tidak boleh tahu kebenaran yang nyata? Sangat baik bila informasi-informasi penting seperti itu dapat diakses dengan mudah oleh publik sehingga masyarakat tidak mudah terpedaya pada isu yang beredar.

Menghapus atau Melepas Tangan?

Halo, akhirnya aku sempat menulis lagi. Sebulan ini aku tidak punya waktu kosong, bahkan untuk diri sendiri. Dua program dari dua organisasi yang berbeda serta satu kompetisi bahkan membuatku hampir 3 minggu tidak mengerjakan skripsi. Padahal tinggal 10 minggu tersisa, dan target awal akhir Maret selesai bab 2. Ya, rencana terkadang memang tidak harus dipaksakan untuk berjalan.

Banyak sekali yang aku ingin ceritakan, mulai dari hal pribadi sampai isu terhangat di Jakarta, Indonesia maupun dunia. Kemarin aku ingin sekali menyampaikan argumen mengenai kebijakan PT. KAI menghapuskan KRL Ekonomi. Tapi, ada topik yang lebih penting dan menyangkut masa depan bangsa Indonesia. Yap, pendidikan dan kurikulum! Kebetulan kemarin aku mengikuti Seminar Pro Kontra Kurikulum 2013.

Tahun 2013 ini, Departemen Pendidikan berusaha memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Mereka “memperbaharui” serta menyesuaikan kurikulum 2006 agar dapat diterapkan pada masa ini. Dalam kurikulum baru ini, beberapa poin yang diganti atau bahkan dihapus untuk memfokuskan pada empat kompentensi dasar,  yaitu spiritual, sosial, pengetahuan dan ketrampilan.

Hal yang menarik adalah dihapuskannya pelajaran Teknologi Informatika dan Komputer (TIK). Alasan yang disampaikan oleh wakil dari Departemen Pendidikan pada saat seminar lalu adalah penghapusan TIK disebabkan tidak dapat diterapkannya pelajaran tersebut di seluruh Indonesia. Beberapa daerah bahkan belum mempunyai listrik, jadi sulit untuk mewajibkan kelas TIK tersebut. Akan tetapi, bagi sekolah-sekolah yang mampu tetap dapat menjalankan kelas tersebut. Aku tergelitik mendengar pernyataan tersebut. Pemerintah seolah lepas tangan dalam menangani permasalahan “ketidakterjangkauan“ itu.

Bila kelas TIK dihapuskan, maka pemerintah tidak akan mengusahakan sarana prasarana komputer dan sebagainya di daerah terpencil yang sulit dijangkau tersebut. Sedangkan di sekolah-sekolah di daerah maju dan sudah berkembang, murid-muridnya tetap dapat menikmati fasilitas yang sudah sewajarnya ada di setiap sekolah. Hal itu akan semakin meninggikan jurang pemisah antara daerah yang sudah maju dengan daerah tertinggal. Padahal dalam era globalisasi dan teknologi seperti saat ini, kemampuan akan teknologi  merupakan kemampuan dasar. Kemampuan tersebut sudah sepatutnya dikuasai oleh setiap anak bangsa agar Indonesia tidak terus menjadi bangsa yang tertinggal.

Sebagai penutup, aku mengutip ujaran salah satu dosen filsafat yang menjadi pembicara seminar tersebut, “Karakter yang terbentuk dari kurikulum yang dibuat ini bukan untuk beradaptasi pada masa depan“. Berbanding terbalik dari tujuan awal peremajaan kurikulum ini, yaitu menyesuaikan dengan kondisi zaman. Ya, semoga bisa direnungkan kembali.

If It Means To Be

A love story will always win my heart. Moreover it’s a short animation movie. In a short time, this film can tell you if you really want it badly, try hardly. And universe will conspire to make it happens. Xoxo.