Dewasa ini, pembakaran minyak bumi dan pemekaran lahan yang tidak terkontrol serta penggunaan senyawa kimia berbahaya merupakan penyumbang besar dalam terjadinya perubahan iklim. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat menghasilkan gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), methan (CH4) dan nitrogen dioksida (N2O). Pada tahun 2010 saja, kadar CO2 dalam atmosfir mencapai angka 375 ppm (part-per-million). Padahal normalnya, kadar tertinggi CO2 yang baik untuk makhluk hidup hanya mencapai 350 ppm. Selain membahayakan makhluk hidup secara langsung, emisi gas rumah kaca itu juga dapat menyebabkan pemanasan global dan keanomalian cuaca. Tidak dapat dipungkiri lagi, saat ini, suhu bumi kian meningkat, melelehnya kutub, glasier dan lempeng es, serta perubahan curah hujan.
Efek yang timbulkan dari perubahan ini berdampak hampir pada semua sektor kehidupan, mulai dari lingkungan, ekonomi sampai kesehatan. Perubahan curah hujan dapat menyebabkan banjir maupun kekeringan. Melelehnya lempeng-lempeng es mengakibatkan naiknya level permukaan air laut sehingga terjadi banjir dan erosi tanah. Peningkatan suhu udara dapat mengubah prilaku tanam dan panen yang dapat mengancam keamanan pangan. Selain itu, peningkatan suhu juga meningkatan resiko terkena malaria dan demam berdarah. Paling parah, peningkatan suhu mengancam keberadaan habitat banyak spesies.
Perubahan iklim membuat makhluk hidup, khususnya manusia, harus beradaptasi untuk mengurangi dampak negatif, yakni dengan membuat penyesuaian dan perubahan yang tepat. Kerentanan masa depan tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan iklim, tetapi juga tipe pembangunan yang dicanangkan. Oleh karena itu, PBB membentuk sebuah konvensi penanggulangan perubahan iklim yang bernama United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
UNFCCC atau Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim merupakan sebuah kesepakatan dan komitmen politik internasional tentang perubahan iklim. Konvensi ini diresmikan pada saat KTT Bumi: Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992. Hingga saat ini sudah ada 192 negara yang bergabung di dalamnya, termasuk Indonesia.
Tujuan utama dari UNFCCC adalah menjaga dan menstabilkan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfir karena sudah dalam taraf membahayakan kehidupan organisme. Selain itu, konvensi ini memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Dalam UNFCCC, dikenal sebuah istilah âCommon but Differentiate Responsibilitiesâ yang mempunyai pengertian bahwa setiap negara mempunyai tanggung jawab yang sama, namun dengan peran yang berbeda-beda.
Negara maju atau Annex I, sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar sesuai dengan Protocol Kyoto, berkewajiban mengurangi gas rumah kaca dengan mencari teknologi alternatif yang ramah lingkungan. Selain itu, negara-negara tersebut juga diwajibkan untuk membantu negara berkembang dalam hal mendanai kebijakan dan penelitian serta mempertimbangkan pengaruh, kerentanan dan pengadaptasian perubahan iklim di negara berkembang. Beberapa cara dilakukan, seperti capacity-building, pelatihan serta pengedukasian mengenai masalah tersebut untuk meningkatkan perhatian publik; pengimplementasian adaptasi yang nyata dan jelas; transfer teknologi; bertukar ide dan pemahaman melalui lokakarya.
Dalam UNFCCC, supreme body  atau pemegang otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan adalah Conference of Parties (COP). COP merupakan pertemuan tahuan anggota UNFCCC yang biasanya diselenggarakan di Sekretariat UNFCCC di Bönn Jerman. Tugas dan tanggung jawab COP adalah mengkaji ulang implementasi konvensi sebelumnya. Bila tingkat pengimplementasian rendah, maka COP berhak membuat keputusan untuk meningkatkan implementasi konvensi tersebut.